Senin, 03 Desember 2012

KISTA OVARI


A.      Pengertian
Menurut (Winkjosastro, et. all, 1999) kistoma ovarii merupakan suatu tumor, baik yang kecil maupun yang besar, kistik atau padat, jinak atau ganas. Dalam kehamilan, tumor ovarium yang dijumpai yang paling sering ialah kista   IIIptasi terhadap rasa nyeri.dermoid, kista coklat atau kista lutein. Tumor ovarium yang cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin dalam rahim atau dapat menghalang-halangi masuknya kepala ke dalam panggul.
B.      Etiologi
Menurut etiologinya, kista ovarium dibagi menjadi dua, yaitu (Ignativicius, Bayne, 1991) :
1.      Kista non neoplasma, disebabkan karena ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, diantaranya adalah
1)      Kista non fungsional
Kista serosa inklusi, berasal dari permukaan epitelium yang berkurang di dalam kortek
2)      Kista fungsional
-        Kista folikel, disebabkan karena folikel yang matang menjadi ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler diantara siklus menstruasi. Banyak terjadi pada wanita yang menarche kurang dari 12 tahun.
-        Kista korpus luteum, terjadi karena bertambahnya sekresi progesteron setelah ovulasi.
-        Kista tuka lutein, disebabkan karena meningkatnya kadar HCG terdapat pada mola hidatidosa.
-        Kista stein laventhal, disebabkan karena peningkatan kadar LH yang menyebabkan hiperstimulasi ovarium.
2.      Kista neoplasma (Wiknjosastro, et.all, 1999)
  1. Kistoma ovarii simpleks. Adalah suatu jenis kistadenoma serosum yang kehilangan epitel kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista.
  2. Kistadenoma ovarii musinosum. Asal kista ini belum pasti, mungkin berasal dari suatu teratoma yang pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen yang lain.
  3. Kistadenoma ovarii serosum. Berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal ovarium).
  4. Kista endometroid. Belum diketahui penyebabnya dan tidak ada hubungannya dengan endometrioid.
  5. Kista dermoid. Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.
C.      Patofisiologi
1.      Kista non neoplasma (Ignativicius, Bayne, 1991 )
1.      Kista non fungsional
Kista serosa inklusi, di dalam kortek yang dalam timbul invaginasi dari permukaan epitelium yang berkurang. Biasanya tunggal atau multiple, berbentuk variabel dan terbatas pada cuboidal yang tipis, endometri atau epitelium tuba. Berukuran 1 cm sampai beberapa cm.
2.      Kista fungsional
1).       Kista folikel. Kista dibentuk ketika folikel yang matang menjadi ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler diantara siklus menstruasi. Bila ruptur menyebabkan nyeri akut pada pelvis. Evaluasi lebih lanjut dengan USG atau laparaskopi. Operasi dilakukan pada wanita sebelum pubertal, setelah menopause atau kista lebih dari 8 cm.
2).       Kista korpus luteum. Terjadi setelah ovulasi dikarenakan meningkatnya hormon progesteron. Ditandai dengan keterlambatan menstruasi atau menstruasi yang panjang, nyeri abdomen bawah atau pelvis. Jika ruptur pendarahan intraperitonial, terapinya adalah operasi oovorektomi.
3).       Kista tuka lutein. Ditemui pada kehamilan mola, terjadi pada 50 % dari semua kehamilan. Dibentuk sebagai hasil lamanya slimulasi ovarium dari berlebihnya HCG. Tindakannya adalah mengangkat mola.
4).       Kista Stein Laventhal. Disebabkan kadar LH yang berlebihan menyebabkan hiperstimulasi dari ovarium dengan produksi kista yang banyak. Hiperplasia endometrium atau koriokarsinoma dapat terjadi. Pengobatan dengan kontrasepsi oral untuk menekan produksi LH dan oovorektomi.
2.      Kish neoplasma jinak (Wiknjosastro, et.all, 1999)
1.      Kistoma ovarii simplek. Kista ini bertangkai dan dapat menyebabkan torsi (putaran tangkai). Di duga kista ini adalah jenis kistadenoma serosum yang kehilangan kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista. Tindakannya adalah pengangkatan kista dengan reseksi ovarium.
2.      Kistadenoma ovarii musinosum. Asal tumor belum diketahui secara pasti, namun diduga berasal dari teratoma yang pertumbuhan satu elemen mengalahkan elemen yang lain, atau berasal dari epitel germinativum.
3.      Kistadenoma ovarii serosum. Berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal ovarium). Bila kista terdapat implantasi pada peritonium disertai asites maka harus dianggap sebagai neoplasma yang ganas, dan 30% sampai 35% akan mengalami keganasan.
4.      Kista endometroid. Kista biasanya unilateral dengan permukaan licin, pada dinding dalam terdapat satu lapisan sel-sel yang menyerupai lapisan epitel endometrium.
5.      Kista dermoid. Adalah suatu teratoma kistik yang jinak dimana struktur­struktur ektoderma dengan diferensiasi sempurna seperti epitel kulit, rambut, gigi dan produk glandula sebasea putih menyerupai lemak nampak lebih menonjol dari pada elemen-elemen ektoderm dan mesoderm. Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.
D.      Gambaran Klinis Kistadenoma Oovarii Serosum
Mayoritas penderita tumor ovarium tidak menunjukkan adanya gejala sampai periode waktu tertentu. Hal ini disebabkan perjalanan penyakit ovarium berlangsung secara tersembunyi sehingga diagnosis sering ditemukan pada waktu pasien dalam keadaan stadium lanjut. Sampai pada waktunya klien mengeluh adanya ketidakteraturan menstruasi, nyeri pada perut bawah, rasa sebah pada perut, dan timbul benjolan pada perut.
Pada umumnya kista jenis ini tak mempunyai ukuran yang amat besar dibandingkan dengan kistadenoma musinosum. Permukaan tumor biasanya licin, akan tetapi dapat pula berbagala karena kista ovariumpun dapat berbentuk multilokuler, meskipun lazimnya berongga satu. Warna kista putih keabu-abuan. Ciri khas kista ini adalah potensi pertumbuhan papiler ke dalam rongga kista sebesar 50 %; dan keluar pada permukaan kista sebesar 5 %. Isi kista cair kuning dan kadang-kadang coklat karena campuran darah. Tidak jarang kistanya sendiri kecil, tetapi permukaannya penuh dengan pertumbuhan papiler (solid papiloma).
E.      Proses Penyembuhan Luka
Tanpa memandang bentuk, proses penyembuhan luka adalah sama, perbedaan terjadi menurut waktu pada tlap-tiap fase penyembuhan dan waktu granulasi jaringan. (Long, 1996), fase-fase penyembuhan luka antara lain :
1.      Fase I
Pada fase ini leukosit mencerna bakteri dan jaringan rusak, terbentuk fibrin yang bertumpuk mengisi luka dari benang fibrin. Lapisan tipis dari sel epitel bermigrasi lewat luka dan membantu menutupi luka. Kekuatan luka rendah tapi luka dijahit akan menahan jahitan dengan baik. Setelah besar pasien akan merasa sakit pada fase ini dan berlangsung selama 3 hari.
2.      Fase II
Berlangsung 3 sampai 14 hari setelah bedah, leukosit mulai menghilang dan ceruk mulai berisi kolagen serabut protein putih. Semua lapisan sel epitel beregenerasi dalam 1 minggu, jaringan ikat kemerahan karena banyak pembuluh darah. Tumpukan kolagen akan menunjang luka dengan baik dalam 6 sampai 7 hari, jadi jahitan diangkat pada fase ini, tergantung pada tempat dan luasnya bedah.
3.      Fase III
Kolagen terus tertumpuk, hal ini menekan pembuluh darah baru dan arus darah menurun. Luka sekarang terlihat seperti berwarna merah jambu yang luas, terjadi pada minggu ke dua hingga enam post bedah, pasien harus menjaga agar tidak menggunakan otot yang terkena.
4.      Fase IV
Berlangsung beberapa bulan setelah bedah, pasien akan mengeluh gatal di seputar luka, walau kolagen terus menimbun, pada waktu ini luka menciut dan menjadi tegang. Bila luka dekat persendian akan terjadi kontraktur karena penciutan luka akan terjadi ceruk yang berlapis putih.
F.       Pemeriksaan Penunjang
1.      Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk menentukan silat-sifat tumor itu.
2.      Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah tumor kistik atau solid, dan dapatkah dibedakan pula antara cairan dalam rongga perut yang bebas dan yang tidak.
3.      Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat gigi dalam tumor. Penggunaan foto rontgen pada pictogram intravena dan pemasukan bubur barium dalam colon disebut di atas.
4.      Parasentesis
Telah disebut bahwa fungsi pada asites berguna menentukan sebab asites. Perlu diingatkan bahwa tindakan tersebut dapat mencemarkan cavum peritonei dengan kista bila dinding kista tertusuk. (Wiknjosastro, et.all, 1999)
G.     Penatalaksanaan
Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas ialah pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang mengandung tumor. Akan tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi, perlu dilakukan pengangkatan ovarium, bisanya disertai dengan pengangkatan tuba (Salpingo-oovorektomi). (Wiknjosastro, et.all, 1999)
Asuhan post operatif merupakan hal yang berat karena keadaan yang mencakup keputusan untuk melakukan operasi, seperti hemorargi atau infeksi. Pengkajian dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda vital, asupan dan keluaran, rasa sakit dan insisi. Terapi intravena, antibiotik dan analgesik biasanya diresepkan. Intervensi mencakup tindakan pemberiaan rasa aman, perhatian terhadap eliminasi, penurunan rasa sakit dan pemenuhan kebutuhan emosional Ibu. (Hlamylton, 1995).
Efek anestesi umum. Mempengaruhi keadaan umum penderita, karena kesadaran menurun. Selain itu juga diperlukan monitor terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit, suara nafas dan usaha pernafasan, tanda-tanda infeksi saluran kemih, drainese urin dan perdarahan. Perawat juga harus mengajarkan bagaimana aktifitas pasien di rumah setelah pemulangan, berkendaraan mobil dianjurkan setelah satu minggu di rumah, tetapi tidak boleh mengendarai atau menyetir untuk 3-4 minggu, hindarkan mengangkat benda-benda yang berat karena aktifitas ini dapat menyebabkan kongesti darah di daerah pelvis, aktifitas seksual sebaiknya dalam 4-6 minggu setelah operasi, kontrol untuk evaluasi medis pasca bedah sesuai anjuran. (Long, 1996)
II.      PROSES KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
Yaitu suatu kegiatan mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan merupakan dasar untuk tindakan dan keputusan yang diambil pada tahap-tahap selanjutnya. Adapun pengkajiannya meliputi :
a.    Biodata
Meliputi identitas pasien, identitas penanggung jawab dan identitas masuk.
b.    Riwayat kesehatan, meliputi keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga dan riwayat sosial ekonomi.
c.    Status Obstetrikus, meliputi :
1).       Menstruasi : menarche, lama, siklus, jumlah, warna dan bau
2).       Riwayat perkawinan : berapa kali menikah, usia perkawinan
3).       Riwayat persalinan
4).       Riwayat KB
d.   Pengkajian pasca operasi rutin, menurut (Ingram, Barbara, 1999)
1).       Kaji tingkat kesadaran
2).       Ukur tanda-tanda vital
3).       Auskultasi bunyi nafas
4).       Kaji turgor kulit
5).       Pengkajian abdomen
-     Inspeksi ukuran dan kontur abdomen
-     Auskultasi bising usus
-     Palpasi terhadap nyeri tekan dan massa
-     Tanyakan tentang perubahan pola defekasi
-     Kaji status balutan
6).       Kaji terhadap nyeri atau mual
7).       Kaji status alat intrusif
8).       Palpasi nadi pedalis secara bilateral
9).       Evaluasi kembajinya reflek gag
10).   Periksa laporan operasi terhadap tipe anestesi yang diberikan dan lamanya waktu di bawah anestesi.
11).   Kaji status psikologis pasien setelah operasi
e.    Data penunjang
1).       pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah lengkap (NB, HT, SDP)
2).       terapi : terapi yang diberikan pada post operasi baik injeksi maupun peroral
2.      Diagnosa Keperawatan Dan Fokus Intervensi
a.    Resiko tinggi aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran (Carpenito, 2001)
Tujuan : Tidak terjadi aspirasi yang berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil : Tidak mengalami aspirasi, pasien dapat mengungkapkan tindakan untuk menghindari aspirasi.
Intervensi :
1).    Pertahankan posisi baring miring jika tidak ada kontra indikasi karena cidera.
2).    Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak (jatuh kebelakang, menyumbat jalan nafas).
3).    Jaga bagian kepala tempat tidur tetap tinggi, jika tidak ada kontra indikasi.
4).    Bersihkan sekresi dari mulut dan tenggorok dengan tissu atau penghisap dengan perlahan-lahan.
5).    Kaji kembali dengan sering adanya obstruksi benda-benda dalam mulut dan tenggorok.
b.    Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran (Carpenito, 1995)
Tujuan : Tidak terjadi injuri yang berhubungan dengan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil : GCS normal (E4, V5, M6)
Intervensi :
1).     Gunakan tempat tidur yang rendah dengan pagar pengaman yang terpasang.
2).     Jauhkan benda-benda yang dapat melukai pasien dan anjurkan keluarga untuk menemani pasien.
c.    Gangguan rasa nyaman : nyeri abdomen berhubungan dengan insisi pada abdomen (Long,1996)
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria hasil : skala nyeri 0, pasien mengungkapkan berkurangnya rasa nyeri, tanda-tanda vital normal.
Intervensi :
1).    Jelaskan penyebab nyeri pada pasien.
2).    Kaji skala nyeri pasien.
3).    Ajarkan tehnik distraksi selama nyeri.
4).    Berikan individu kesempatan untuk istirahat yang cukup.
5).    Berikan individu pereda rasa sakit yang optimal dengan analgesik sesuai program dokter.
6).    30 menit setclah pemberian obat pengurang rasa sakit, evaluasi kembali efektifitasnya.
d.   Resiko infeksi berhubungan dengan invasi kuman sekunder terhadap pembedahan (Carpenito, 1995)
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi (TTV normal, tidak ada peningkatan leukosit).
Intervensi :
1).       Kaji tanda-tanda infeksi dan monitor TTV
2).       Gunakan tehnik antiseptik dalam merawat pasien
3).       Isolasikan dan instruksikan individu dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum mendekati pasien
4).       Tingkatkan asupan makanan yang bergizi           
5).       Berikan terapi antibiotik sesuai program dokter
e.    Resiko konstipasi berhubungan dengan pembedahan abdominal (Doenges, 2000)
Tujuan : Tidak terjadi konstipasi
Kriteria hasil : Peristaltik usus normal (5-35 kali per menit), pasien akan menunjukkan pola climinasi biasanya.
Intervensi :
1).       Monitor peristaltik usus, karakteristik feses dan frekuensinya
2).       Dorong pemasukan cairan adekuat, termasuk sari buah bila pemasukan peroral dimulai.
3).       Bantu pasien untuk duduk pada tepi tempat tidur dan berjalan.
f.     Gangguan pemenuhan kebutuhan diri (mandi, makan, minum, bak, bab berpakaian) berhubungan dengan keletihan pasca operatif dan nyeri (Carpenito,2001)
Tujuan : Kebersihan diri pasien terpenuhi
Kriteria hasil : Pasien dapat berpartisipasi secara fisik Imaupun verbal dalam aktifitas pemenuhan kebutuhan dirinya
Intervensi :
1).       Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaa4i tentang kurangnya kemampuan perawatan diri dan berikan bantun dalam mernenuhi kebutuhan pasien.
2).       Berikan pujian alas kemampuan pasien dan mclibatkan keluarga dalam perawatan pasien.
g.    Cemas berhubungan dengan kurangnya informasi (Doenges, 2000)
Tujuan : Pasien mengetahui tentang efek sawing dari operasinya.
Kriteria hasil : Pasien menyatakan memahami tentang kondisinya.
Intervensi :
1).       Tinjau ulang efek prosedur pembedahan dan harapan pada masa dating.
2).       Diskusikan dengan lengkap masalah yang diantisipasi selama masa penyembuhan.
3).       Diskusikan melakukan kembali aktifitas
4).       Identifikasi keterbatasan individu
5).       Kaji anjuran untuk memulai koitus seksual
6).       Identifikasi kebutuhan diet
7).       Dorong minum obat yang diberikan secara rutin
8).       Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medis.

ASKEP EMFISEMA

ASKEP EMFISEMA

1) Definisi
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli.

2) Klasifikasi Emfisema Berdasarkan Morfologi
a. Centrilobural Emfisema (CLE)
Terdapat pelebaran dan kerusakan brokiolus respiratorius tertentu. Dinding bronkiolus terbuka dan menjadi membesar dan bersatu cenderung membentuk sebuah ruangan bersamaan dengan membesarnya dinding. Cenderung tidak seluruh paru, namun lebih berat pada daerah atas.

b. Panlobular Emfisema (PLE)
Pembesaran lebih seragam dan perusakan alveoli dalam asinus paru-paru, Biasanya lebih difus dan lebih berat pada paru-paru bawah. Ditemukan pada orang tua yang tidak ada tanda bronchitis kronis atau gangguan fungsi paru. Khas ditemukan pada orang dengan defisiensi 1- antitripsin homozigot.

3) Etiologi
Merokok belum diketahui pasti sebagai penyebab emfisema, tetapi merokok diduga merupakan penyebab utama dari penyakit emfisema. Selain itu, penyebab emfisema pada sedikit pasien yaitu diakibatkan oleh adanya predisposisi familial berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin - 1 yang merupakan enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru.

4) Patofisiologi
Karena dinding alveoli terus mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen sehingga mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri dan menyebabkan asidosis respiratoris.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabakan individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru-paru yang mengalami emfisema.

5) Pemeriksaan diagnostik
 Rontgen dada
Menunjukkan hiperinflasi, pendataran diafragama, pelebaran margin intercosta, dan jantung normal.

 Spirometri
Pemeriksaan fungsi pulmonary, biasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total dan volume residual, penurunan dalam kapsitas vital dan volume ekspirasi kuat.
 Pemeriksaan gas-gas darah arteri
Dapat menunjukkan hipoksia ringan dengan hiperkapnia.

 Hitung darah lengkap (HDL).

6) Penatalaksanaan Medis
 Bronkodilator
Untuk mendilatasi jalan nafas. Mencakup agonis -adrenergik dan metilxantin, yang menghasilkan dilatasi bronchial melalui mekanisme yang berbeda.

 Terapi Aerosol
Aerosolisasi dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi.
Aerosol yang dinebuliser menghilangkan brokospasme, menurunkan edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronchial. Hal ini memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi.

 Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema rentan terjadap infeksi paru dan harus diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, atau trimetroprim-sulfametoxazol biasanya diresepkan.

 Kortikosteroid
Digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi. Prednison biasanya diresepkan.

 Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema berat.

7) Diagnosa Keperawatan
 Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi.

Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas.

Intervensi :
1) Berikan bronkodilator sesuai yang diresepkan.
2) Evaluasi tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB.
3) Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk efektif.
4) Berikan oksigen dengan metode yang diharuskan.

Rasional:
1) Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa bronchial dan spasme muscular.
2) Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodsilator nebulisasi biasanya digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi.
3) Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan jalan napas dari sputum. Pertukaran gas diperbaiki.
4) Oksigen akan memperbaiki hipoksemia.


Evaluasi:
 Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.
 Melaporkan penurunan dispnea.
 Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.
 Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.

 Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal.

Tujuan : Pencapaian klirens jalan napas.

Intervensi :
1) Beri pasien 6-8 gelas cairan/hari, kecuali terdapat kor pulmonal.
2) Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmaik dan batuk.
3) Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler, atau IPPB.
4) Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan.
5) Instruksikan pasien untuk menghindari iritan, seperti asap rokok, aerosol, dan asap pembakaran.
6) Berikan antibiotik sesuai yang diresepkan.

RASIONAL :
1) Hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran.
2) Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa harus menyebabakan sesak napas dan keletihan.
3) Tindakan ini menambahakan air ke dalam percabangan bronchial dan pada sputum menurunkan kekentalannya, sehingga memudahkan evakuasi sekresi.
4) Menggunakan gaya gravitasi untuk membantu membangkitkan sekresi sehingga sekresi dapat lebih mudah dibatukkan atau diisap.
5) Iritan bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukan lendir, yang kemudian mengganggu klirens jalan napas.
6) Antibiotik mungkin diresepkan untuk mencegah atau mengatasi infeksi.

Evaluasi :
 Mengungkapkan pentingnya untuk minum 6-8 gelas per hari.
 Batuk berkurang.
 Jalan napas kembali efektif.

 Pola pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan napas pendek, lendir, bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.
Tujuan : perbaikan dalam pola pernapasan.

Intervensi :
1) Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.
2) Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.
3) Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.

Rasional :
1) Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan bernapas lebih efisien dan efektif.
2) Memberikan jeda aktivias akan memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distres berlebihan.
3) Menguatkan dan mengkoordinasiakn otot-otot pernapasan.

Evaluasi :
 Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik serta menggunakannya ketika sesak napas dan saat melakukan aktivitas.
 Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat jarak dalam aktivitas.
 Menggunakan pelatihan otot-otot inspirasi, seperti yang diharuskan.

 Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

Tujuan : kemandirian dalam aktivitas perawatn diri.

Intervensi :
1) Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas.
2) Berikan pasien dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan.
3) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan.

Rasional :
1) Akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea selama aktivitas.
2) Sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan.
3) Memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat dalam perawtan dirinya.

Evaluasi :
 Menggunakan pernapasan terkontrol ketika beraktivitas.
 Menguraikan strategi penghematan energi.
 Melakukan aktivitas perawatan diri seperti sebelumnya.

 Intoleran aktivitas akibat keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif.

Tujuan: perbaikan dalam toleran aktivitas.

Intervensi:
1) Dukungan pasien dalam menegakkan regimen latihan teratur.

Rasional:
1) Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak oksigen dan memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang teratur, kelompok otot menjadi lebih terkondisi.

Evaluasi:
 Melakukan aktivitas dengan napas pendek lebih sedikit.
 Berjalan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk memperbaiki kondisi fisik.

 Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.

Tujuan: pencapaian tingkat koping yang optimal.

Intervensi:
1) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yng ditujukan kepada pasien.
2) Dorongan aktivitas sampai tingkat toleransi gejala.
3) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.

Rasional:
1) Suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat dikerjakan.
2) Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan pasien menjadi terkondisi.
3) Relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan membantu pasien untuk mengatasi ketidakmampuannya.

Evaluasi :
 Mengekspresikan minat di masa depan.
 Mendiskusikan aktivitas dan metode yang dapat dilakukan untuk menghilangkan sesak napas.
 Menggunakan teknik relaksasi dengan sesuai.


 Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan di rumah.

Tujuan: kepatuhan dengan program terapeutik dan perawatan di rumah.

Intervensi:
1) Bantu pasien mengerti tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
2) Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok.

Rasional:
1) Pasien harus mengetahui bahwa ada metoda dan rencana dimana ia memainkan peranan yang besar.
2) Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan mekanisme proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.

Evaluasi:
 Mengerti tentang penyakitnya dan apa yang mempengarukinya.
 Berhenti merokok.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne. C, 1997, BUKU AJAR KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH, EDISI 8, EGC : Jakarta